Memang ada beberapa versi pemahaman tentang penggunakan kata ganti subyek AKU, KAMI dan DIA dalam Al Qur’an. Ada yang mengatakan kata KAMI adalah sebagai kata ganti kehormatan sebagaimana digunakan ketika berpidato dalam acara-acara resmi. Saya pribadi sering mendengar orang berpidato yang menyebut dirinya sendiri dengan kata kami. Ok, sampai di situ saya bisa menerimanya. Tapi muncul pertanyaan lagi. Mengapa kalau memang begitu maksudnya kok tidak semuanya saja menggunakan kata KAMI?
.
Ada yang pernah menjawab ketika saya membahas ini dengan kalimat ; “Ya suka-suka Tuhan ya, mau pake kata AKU kek, DIA kek, KAMI kek itu bukan urusan kita!”. O my god jadi ngajak debat kusir. Saya bukan sedang mempermasalahkan Tuhan bung. Saya berupaya untuk mengenal SIAPA YANG SAYA SEMBAH. Setelah menelusuri ke berbagai sumber dan menyelami diri sendiri, dalam pemahaman saya penggunaan kata ganti subyek yang berbeda-beda tersebut adalah sinyal tentang konsep kemanunggalan kawulo lan gusti.
.
.
Saya tidak menyimpulkan bahwa Tuhan “berada” di zona quantum. Namun untuk memudahkan pemahaman agar kita tidak terkotak dengan kerangka dunia 3 dimensi ini saya akan membahas fenomena di zona quantum. Di zona quantum pembedaan arah tidak berarti. Konsep DI SANA, DI SINI dan DI SITU semuanya ya sama saja, demikian juga konsep INI dan ITU. Semuanya menjadi tidak berlaku. Sama pula dengan konsep AKU, KAMI dan DIA. Di zona quantum ya semua kata ganti itu akan menunjuk kepada SUBYEK yang sama. Oleh karenanya saya mengulangi kalimat di bagian sebelumnya yaitu TIDAK DIMANAPUN TAPI DIMANA-MANA.
.
Sederhananya kalo boleh saya ibaratkan jika kita seorang diri berada dalam ruangan penuh potongan cermin yang disusun seperti ubin baik di lantai dasar, dinding maupun langit-langitnya, maka semuanya akan nampak “bayangan” diri kita. Ketika kita menunjuk ke diri sendiri sambil mengatakan AKU, menunjuk ke cermin sambil mengatakan DIA, sekaligus menunjuk kemana-mana sambil mengatakan KAMI, ya semuanya adalah kita. Bedanya yang satu asli yang lainnya hanya bayangan. Dengan demikian Tuhan bebas saja menggunakan kata ganti subyek. Karena dzatnya MELIPUTI semuanya. Semisal anda menerima gaji dari atasan anda saya bertanya, darimana rejeki itu? Secara kasat mata itu memang dari atasan anda. Tapi pada tataran hakikat rejeki yang anda terima itu ya dari Allah, dari Tuhan. Karena dalam prosesnya Tuhan melibatkan ciptaan-Nya maka BELIAU menggunakan kata ganti KAMI.
.
Sampai tataran ini mungkin tidak akan menimbulkan perdebatan. Nah yang menjadi “mumet” adalah ketika pertanyaannya bagaimana dengan IBLIS? Atau orang-orang jahat? Kalau Tuhan meliputi semuanya berarti Tuhan ikut andil donk dalam kejahatan? Kalau Tuhan manunggal dengan makhluk apakah Tuhan juga manunggal dengan orang-orang yang korupsi? Masak Tuhan berbuat jahat? Jika semua pertanyaan ini muncul dalam benak kita maka kita kembali telah terjebak dalam kacamata kita sebagai manusia. Kita kembali terjebak “melogika-kan” Tuhan dengan frame kita. Sama saja kita mengatakan elektron pada TAHU itu tidak najis dan elektron dalam TAHI itu najis. Hemmm, bukankah Tuhan juga tetap memberikan napas pada mereka yang sedang maksiat di tempat pelacuran? Mohon renungkan ini friends … Bersambung ke bagian 5
.
.
Salam Hakikat
ARIF RH
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.