Berdasarkan cerita, sebuah moment yang menjadikan Syech Siti Jenar disebut wali sesat adalah ketika utusan dari kesultanan demak mengundang Syech Siti Jenar untuk “diinterogasi” mengenai ajaran-ajarannya yang “nyeleneh” kepada para santrinya. Namun ketika dipanggil dari luar ruangan ada suara yang menjawab dari tubuh Syech Siti Jenar yang kalimatnya : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah” … Saya dulu pun ketika masih SMP-SMA memiliki mindset bahwa kalimat itu adalah sebuah pengakuan menyamakan diri dengan Tuhan, padahal bukan itu maksudnya. Maksudnya adalah manunggal, bukan menyamakan antara Tuhan dengan makhluk. Saya ulangi, manunggal bukan berarti sama.
.
Tulisan ini bukan hanya untuk mereka yang beragama islam. Hanya saja karena saya beragama islam dan setting cerita Syech Siti Jenar adalah cerita dalam konteks islam ijinkan saya membahasnya dari sudut pandang islam. Begini saya contohkan … Ketika shalat, bukankah sangat bagus ketika kita menghayati setiap bacaan ayat yang kita baca bukan? Nah sekarang bayangkan jika kita membaca surat adz dzariat ayat 56-58 yang artinya berikut ini : “ Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat”. Pada ayat tersebut bisa kita lihat dalam terjemahannya ada kata AKU … Nah, bila kita menghayati kalimat ini apa yang terjadi? Ya sama saja sebenarnya kita “mengaku” sebagai Tuhan. Coba kalau kita mengatakan AKU kemana asosiasi kata itu? Ya ke diri yang mengatakan tho?
.
.
Nah, sebenarnya dalam hal ini Syech Siti Jenar lebih mulia dari kita karena saat beliau mengatakan : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah”, saat mengatakan itu ego atau ke-aku-an Syech Siti Jenar lenyap. Tahapan beliau sudah sangat tinggi sehingga sudah bisa melihat esensi sesungguhnya bahwa semua yang ada itu sebenarnya semu, yang MUTLAK ADA HANYA ALLAH. Yang lain itu SEMU. Justru yang sesat ya kita ini, menyebut kata AKU yang artinya menunjuk kepada Tuhan tapi ke-aku-an kita masih ada. So siapa sebenarnya yang mengaku sebagai Tuhan?
.
Sekarang mari kita lihat fenomena saat Nabi Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu. Darimana ayat-ayat Al Qur’an keluar? Kan dari lisannya dan jasad fisiknya Muhammad? Tapi mengapa kita tidak mengatakan Muhammad mengaku sebagai Allah? Ya karena saat ayat-ayat itu keluar ke-aku-an atau ego Muhammad tidak ada. Yang berbicara adalah AKU-Nya Allah. So mari kita bandingkan. Saat membaca surat Adz-dzariat di atas mana yang lebih pantas membacanya. Kita atau Syech Siti Jenar? Hanya yang benar-benar total meniadakan diri dan ke-aku-annya sajalah yang benar-benar pantas membaca ayat dalam surat tersebut. Saat kita meniadakan aku-nya kita maka yang ada adalah AKU-Nya Allah …
.
Bersambung ke bagian 3 ….
.
.
Salam Hakikat 🙂
ARIF RH
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.