Istilah “positive thinking” dan “negative thinking” mungkin sudah begitu populer di masyarakat, apalagi bagi mereka yang akrab dengan dunia “self help”. Nah, lalu kalau sudah lazim mengapa note ini dibuat? Karena dalam pandangan saya pembedaan antara keduanya sebenarnya masih rancu dan belum jelas. Beberapa orang saya yang tanya dengan pertanyaan sederhana, “apa sih positive thinking itu? Apa sih negative thinking itu?”, ternyata pada bingung menjawabnya. Kita sering sekali mengatakan “positive thinking” dan “negative thinking” tapi sebenarnya masih bingung tentang keduanya.
.
Di facebook saya pernah menulis status begini, KALAU MEREKA BISA KORUPSI, SAYA JUGA PASTI BISA KORUPSI, PASTI BISA, AKU PASTI BISA !!!! … Nah menurut anda kalimat yang saya tulis menggunakan huruf besar itu NEGATIF atau POSITIF? Ternyata komentarnya macam-macam. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu negatif, ada yang berpendapat kalimat itu positif, ada pula yang berpendapat positif sekaligus negatif, ada pula yang tidak mau menggunakan kedua label itu. Bukankah itu membuktikan bahwa tidak ada definisi yang jelas dan tidak ada kesepakatan baku tentang apa itu “positive thinking” dan “negative thinking?”
.
.
Sekarang mari kita cermati fenomena keseharian kita. Mengapa kita mengunci pintu rumah di malam hari? Mengapa kita mengunci kendaraan kita saat diparkir? Bukankah karena kita berpikir “BARANGKALI ADA ORANG YANG MENCURI”. Nah, itu “positive thinking’ atau “negative thinking”? Kemudian apakah perlu yang namanya petugas security di bank? Apakah perlu yang namanya polisi? Apakah perlu yang namanya Badan Pemeriksa Keuangan Negara? Apakah perlu yang namanya imunisasi? Apakah perlu yang namanya program antivirus di komputer? Jika kita menganggap semuanya perlu bentuk pemikiran seperti apakah yang mendasari perlunya semua itu? Bukankah semua hal yang mendasarinya adalah “negative thinking?”. Kalau mau “positive thinking” secara total kan tidak perlu itu petugas security, polisi, Badan Pemeriksa Keuangan Negara, imunisasi dan program antivirus. Semuanya tidak perlu!
.
Dalam bahasa lain “positive thinking” disebut sebagai “berprasangka baik” dan “negative thinking” disebut sebagai “berprasangka buruk”. Nah apakah berprasangka baik itu serta merta lebih baik dari berprasangka buruk? Saya ambil contoh kasus yang menimpa ayah saya. Beberapa bulan yang lalu ayah saya terseret ke kepolisian atas tuduhan penipuan. Kok bisa? Karena ayah saya selalu berprasangka baik, terutama saat ada seseorang yang mengajukan penawaran untuk usulan bantuan pembangunan gedung sekolah. Dan waktu itu ayah saya tanda tangan karena “saking positive nya”. Akibatnya ayah saya diproses di kepolisian yang cara pandangnya juga “berprasangka buruk”. Ayah saya dibentak-bentak di ruang interogasi. Sejak kejadian itu ayah saya “berhati-hati dalam berprasangka baik”. Kami bersyukur karena pelaku penipuan itu akhirnya tertangkap. Ayah saya bebas dari tuduhan.
.
Nah fenomena yang menarik lagi adalah ada yang menafsirkan “positive thinking” dengan cara yang unik. Mereka menafsirkan “siapapun yang mendukung mereka itu positif” dan “siapapun yang tidak mendukung mereka itu negatif”. Sehingga kalimat yang sering digunakan adalah “orang-orang negatif di luar sana”. Fakta dan data apapun yang tersaji akan disebut sebagai virus, negator dan pencuri impian.
.
Bersambung ke bagian 2 …
.
.
Salam Min Plus
ARIF RH | The Happiness Consultant
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.