Hallo semuanyaaa. Kelamaan ya nunggu lanjutan catatannya? Wuakakakkkk. Sori, sori. Begini. Ada sebuah “missing link” yang membuat saya belum bisa menuntaskan bagian kedua dari catatan ini. Saya melekat mencari misteri ini dan tetap tidak ketemu yang pas. Bukan tidak tau, tapi ada yang serasa hilang. Akhirnya pake jurus andalan. LUPAKAN dan TIDAK MELEKAT !! Ya, dan setelah dilupakan wheee lhaaaa jawabannya muncul sendiri. Dan ternyata jawaban ini persis dengan apa yang sudah saya bahas di catatan-catatan sebelumnya.
.
Masih ingat kan beberapa contoh kasus dimana keinginan yang dipaksakan itu realisasinya bisa tidak enak? Itu lookh yang saya uraikan di bagian 1. Kalau lupa coba baca lagi ya bagian sebelumnya. Nah, sampai dengan catatan ini ditulis masih banyak share kasus baik langsung maupun via inbox terkait do’a yang akhirnya pengabulannya gak enak itu. Semuanya memiliki kesamaan, yaitu DIPAKSAKAN !! Kita kadang memaksakan bahwa rencana kita itu yang terbaik. Kita cenderung mengidentikkan keajaiban sebagai terwujudnya keinginan kita. Padahal tidak demikian adanya. Berkenaan dengan hal ini saya mau mengcopas sebuah kisah nyata di sini. Kesaksian Hidup dibalik Meledaknya Pesawat Luar Angkasa Challenger, USA.
.
.
Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah. Gedung putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.
.
Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center. Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini? Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa.
.
Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, “Semua terjadi karena suatu alasan.”
.
Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang. Aku teringat kata-kata ayahku, “Semua terjadi karena suatu alasan.”
.
.
Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan”
.
Setelah anda membaca nyata yang dialami Frank Slazak di atas, apakah masih mau memaksakan do’a anda supaya terkabul? Saya yakin tidak. Saya yakin sekarang pertanyaannya ganti begini, “lalu bagaimana sebaiknya agar kita tidak menderita oleh do’a kita sendiri?”. Saya pribadi memilih kalimat begini ketika berdoa, “Ya Allah, saya memang ingin X, namun apapun yang terjadi itu yang terbaik karena Engkau Maha Tahu, dan aku menerima apapun itu apa adanya”. Jadi enggak maksa khan?
.
Tapi tunggu, ada beberapa teman Facebook yang berpendapat bahwa saya mencurigai Tuhan. Mosok do’a kok dikabulkan Tuhan dengan cara mengerikan begitu? Loh, padahal dia yang curiga sama saya kan? wuakakakkk !!! Oke deh, begini. Mari kita belajar dari kisah nabi Nuh yang dikisahkan dalam Al Qur’an Surat Hud (11) ayat 44, 45, 46 dan 47. Inilah “missing link” yang akhirnya ketemu, bahwa Tuhan sendiri yang mengingatkan kita agar KITA MEWASPADAI DO’A KITA SENDIRI. Saya copas ya :
.
Terjemahan Al Qur’an Surat Hud (11) ayat 44 :
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim”.
.
Terjemahan Al Qur’an Surat Hud (11) ayat 45 :
Dan Nuh berseru kepada Rabbnya sambil berkata: “Ya Rabbku sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.
.
Terjemahan Al Qur’an Surat Hud (11) ayat 46 :
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.
.
Terjemahan Al Qur’an Surat Hud (11) ayat 47 :
Nuh berkata: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi”
.
Mari kita baca baik-baik beberapa ayat di atas. Kalo masih ragu monggo dicrosscheck. Perhatikan kalimat pada ayat-ayat di atas yang saya cetak tebal. Kita bisa melihat bahwa kita dilarang memohon sesuatu yang kita sendiri tidak tahu hakekatnya. Dalam persepsi saya, ini sebuah pesan agar kita mewaspadai keinginan kita sendiri. Pesan selanjutnya adalah bahwa hanya Tuhan yang lebih tahu apa yang terbaik. Sehingga kita pun diajarkan agar berlindung kepada-Nya dari bahaya terkabulnya do’a-do’a kita sendiri. Sampai di sini dulu pembahasan kita. Sampai jumpa dalam catatan selanjutnya.
.
Tamat
.
Salam Vibrasi !!
.
ARIF RH
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.